Yang Mendapatkan Keringanan Tidak Berpuasa

  1. Orang yang sakit

Allah Ta’ala berfirman, “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Orang sakit yang boleh tidak puasa adalah jika mendapatkan mudarat dengan puasanya.

  1. Orang yang bersafar

Dalil seorang musafir boleh tidak berpuasa adalah firman Allah Ta’ala (yang
artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada harihari yang lain
.” (QS. Al Baqarah: 185)

Namun manakah yang lebih utama baginya, apakah berpuasa ataukah tidak? Di sini bisa dilihat pada tiga kondisi:

  1. jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.
  2. jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk
    melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Alasannya karena lebih cepat terlepasnya beban kewajiban dan lebih mudah berpuasa dengan orang banyak daripada sendirian.
  3. jika tetap berpuasa malah membinasakan diri sendiri, maka wajib
    tidak puasa.
  4. Orang yang sudah tua renta (sepuh)


Selain berlaku bagi orang tua renta (sepuh) yang tidak mampu puasa, juga
berlaku untuk orang yang sakit yang tidak bisa sembuh sakit lagi dari sakitnya (tidak bisa diharapkan sembuhnya). Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin.”
(QS. Al Baqarah: 184).

  1. Wanita hamil dan menyusui

Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga
puasa dari wanita hamil dan menyusui.”

Asy Syairozi salah seorang ulama Syafi’I berkata, “Jika wanita hamil
dan menyusui khawatir pada diri mereka sendiri, maka mereka boleh
tidak puasa dan punya kewajiban qadha’ tanpa ada kafarah. Keadaan
mereka seperti orang sakit. Jika keduanya khawatir pada anaknya, maka
keduanya tetap menunaikan qadha’, namun dalam hal kafarah ada tiga
pendapat.”
Imam Nawawi berkata, “Wanita hamil dan menyusui ketika tidak
berpuasa karena khawatir pada keadaan dirinya, maka keduanya boleh
tidak puasa dan punya kewajiban qadha’. Tidak ada fidyah ketika itu
seperti halnya orang yang sakit. Permasalahan ini tidak ada perselisihan
di antara para ulama. Begitu pula jika khawatir pada kondisi anak saat
berpuasa, bukan pada kondisi dirinya, maka boleh tidak puasa, namun
tetap ada qadha’.Yang ini pun tidak ada khilaf. Namun untuk fidyah
diwajibkanmenurutmadzhabSyafi’i.”
Sedangkan mewajibkan hanya menunaikan fidyah saja bagi wanita
hamil dan menyusui tidaklah tepat. Ibnu Qudamah berkata, “Wanita hamil
dan menyusui adalah orang yang masih mampu mengqadha’ puasa (tidak
sama seperti orang yang sepuh). Maka qadha’ tetap wajib sebagaimana
wanita yang mengalami haidh dan nifas. Sedangkan dalam surat Al
Baqarah ayat 184 menunjukkan kewajiban fidyah, namun itu tidak
menafikan adanya qadha’ puasa karena pertimbangan dalil yang lain.
Imam Ahmad sampai berkata, “Aku lebih cenderung memegang hadits Abu
Hurairah dan tidak berpendapat dengan pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu
‘Umar yang berpendapat tidak wajibnya qadha’.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Lebih tepat
Wanita hamil dan menyusui dimisalkan seperti orang sakit dan musafir
yang punya kewajiban qadha’ saja (tanpa fidyah). Adapun diamnya Ibnu
‘Abbas tanpa menyebut qadha’ karena sudah dimaklumi bahwa qadha’ itu ada.” Kewajiban qadha’ saja yang menjadi pendapat ‘Atho’ bin Abi
Robbah dan Imam Abu Hanifah.

oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top