Puasa dalam bahasa Arab dikenal sebagai ash shiyaam (الصيام) atau ash shaum (الصوم). Secara linguistik, ash shiyaam berarti al imsaak (السمساك), yang berarti menahan diri. Dalam konteks istilah, ash shiyaam merujuk pada ibadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum, dan segala sesuatu yang membatalkan puasa, mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Hukum puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan hukumnya wajib berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
يا أيها الذين آمن ا كتب عليكم ال ّصيَام كما ُتب على الذين من قبلكم لعّكم تتّقون
“wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalian
bertaqwa” (QS. Al Baqarah: 183).
Keutamaan puasa
1. Puasa adalah ibadah yang tidak ada tandingannya
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada Abu
Umamah Al Bahili:
عليك بالصيام فإنه ل مثل له
“hendaknya engkau berpuasa karena puasa itu ibadah yang tidak ada tandingannya” (HR. Ahmad, An Nasa-i. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)
2. Allah Ta’ala menyandarkan puasa kepada diri-Nya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Allah ‘azza wa jalla berfirman: setiap amalan manusia itu bagi dirinya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalas pahalanya” (HR. Bukhari – Muslim).
3. Puasa menggabungkan 3 jenis kesabaran.
Ini berarti bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, bersabar untuk menjauhi larangan-Nya, serta bersabar menghadapi takdir Allah terkait rasa lapar dan kesulitan yang dialami selama puasa.
4. Puasa akan memberikan syafaat di hari kiamat.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الصيام القرآن يشفعان للعبد
“Puasa dan Al Qur’an, keduanya akan memberi syafaat kelak di hari kiamat” (HR. Ahmad, Thabrani, Al Hakim. Al Haitsami mengatakan:
“semua perawinya dijadikan hujjah dalam Ash Shahih“).
5. Orang yang berpuasa akan diganjar dengan ampunan dan pahala
yang besar.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah
telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al Ahzab: 35)
6. Puasa adalah perisai dari api neraka
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الصيام ُجنة
“puasa adalah perisai” (HR. Bukhari – Muslim)
7. Puasa adalah sebab masuk ke dalam surga
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“di surga ada delapan pintu, diantaranya ada pintu yang dinamakan Ar Rayyan. Tidak ada yang bisa memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa” (HR. Bukhari).
Hikmah disyariatkannya puasa
1. Puasa adalah wasilah untuk mengokohkan ketaqwaan kepada Allah
2. Puasa membuat orang merasakan nikmat dari Allah Ta’ala
3. Mendidik manusia dalam mengendalikan keinginan dan sabar dalam menahan diri
4. Puasa menahan laju godaan setan
5. Puasa menimbulkan rasa iba dan sayang kepada kaum miskin
6. Puasa membersihkan badan dari elemen-elemen yang tidak baik dan membuat badan sehat
Rukun puasa
1. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa
2. Menepati rentang waktu puasa
Awal dan akhir bulan Ramadhan
• Wajib menentukan awal bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal, bila hilal tidak terlihat maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Para ulama ijma akan hal ini, tidak ada khilaf di antara
mereka. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya. Jika hilal tidak tampak, genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari” (HR. Bukhari-Muslim).
• Tidak boleh menentukan awal bulan Ramadhan dengan metode hisab falaki (perhitungan astronomi), karena syariat sudah menentukan caranya yaitu dengan ru’yatul hilal dan ulama ijam (sepakat) akan hal ini.
• Wajib mengembalikan masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan kepada ulil amri agar terjadi persatuan kaum Muslimin. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih” (HR. Tirmidzi 632,
dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah [1/440]).
At Tirmidzi setelah membawakan hadits ini ia berkata: “Hadits ini hasan gharib, sebagian ulama menafsirkan hadits ini, mereka berkata bahwa maknanya adalah puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia”.
• Para ulama mensyaratkan minimal satu orang yang melihat hilal untuk bisa menetapkan terlihatnya hilal Ramadhan.
• Jika ada seorang yang mengaku melihat hilal Ramadhan sendirian, ulama khilaf. Jumhur ulama mengatakan ia wajib berpuasa sendirian berdasarkan ru’yah-nya. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Al Utsaimin. Sebagian ulama berpendapat ia wajib berpuasa bersama jama’ah kaum Muslimin. Pendapat
ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Baz.
• Rukyah hilal suatu negeri berlaku untuk seluruh negeri yang lain (ittifaqul mathali’), ataukah setiap negeri mengikuti rukyah hilal masing-masing di negerinya (ikhtilaful mathali’)? Para ulama khilaf dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat rukyah hilal suatu negeri berlaku untuk seluruh negeri yang
lain. Adapun Syafi’iyyah dan pendapat sebagian salaf, setiap negeri mengikuti rukyah hilal masing-masing. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh Ash Shanani dan juga Ibnu Utsaimin.
• Wajib menentukan akhir bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal, bila hilal tidak terlihat maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari. Para ulama ijma akan hal ini, tidak ada khilaf di antara mereka.
• Jumhur ulama mensyaratkan minimal dua orang yang melihat hilal untuk bisa menetapkan terlihatnya hilal Syawal.
• Jika ada seorang yang mengaku melihat hilal Syawal sendirian, maka ia wajib berbuka bersama jama’ah kaum Muslimin.
• Jika hilal Syawal terlihat pada siang hari, maka kaum Muslimin ketika itu juga berbuka dan shalat Id, jika terjadi sebelum zawal (bergesernya mata hari dari garis tegak lurus).
Rentang waktu puasa
Puasa dimulai ketika sudah terbit fajar shadiq atau fajar yang
kedua. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS. Al Baqarah: 187).
Yang dimaksud dengan khaythul abyadh di sini adalah fajar shadiq atau fajar kedua karena berwarna putih dan melintang di ufuk seperti benang. Adapun fajar kadzib atau fajar pertama itu bentuknya seperti dzanabus sirhan (ekor serigala).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda:
“Fajar itu ada dua: pertama, fajar yang bentuknya seperti ekor serigala, maka ini tidak menghalalkan shalat (shubuh) dan tidak mengharamkan makan. Kedua, fajar yang memanjang di ufuk, ia menghalalkan shalat (shubuh) dan mengharamkan makan (mulai puasa)” (HR. Al Hakim, Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’).
Puasa berakhir ketika terbenam matahari. Allah Ta’ala berfirman:
“lalu sempurnakanlah puasa hingga malam” (QS. Al Baqarah: 187). Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Syarat sah puasa
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Muqim (tidak sedang safar)
5. Suci dari haid dan nifas
6. Mampu berpuasa
7. Niat
Orang-orang yang dibolehkan tidak berpuasa
Ada beberapa orang yang dibolehkan tidak puasa, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib
bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”
(QS. Al Baqarah: 184).
Rincian orang yang dibolehkan dalam syariat untuk tidak berpuasa
adalah:
1. Orang sakit yang bisa membahayakan dirinya jika berpuasa.
a) Jumhur ulama mengatakan bahwa orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah yang jika berpuasa itu dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan serius pada
kesehatannya.
b) Adapun orang yang sakit ringan yang jika berpuasa tidak ada pengaruhnya sama sekali atau pengaruhnya kecil, seperti pilek, sakit kepala, maka ulama empat madzhab sepakat orang yang demikian wajib tetap berpuasa dan tidak boleh meninggalkan puasa.
c) Terkait adanya kewajiban qadha atau tidak, orang sakit
dibagi menjadi 2 macam:
1. Orang yang sakitnya diperkirakan masih bisa sembuh, maka wajib meng-qadha ketika sudah mampu untuk menjalankan puasa. Ulama ijma akan hal ini.
2. Orang yang sakitnya diperkirakan tidak bisa sembuh, maka membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Diqiyaskan dengan keadaan orang yang sudah tua renta tidak mampu lagi berpuasa. Ini disepakati oleh madzhab fikih yang empat.
2. Musafir.
a) Orang yang bersafar boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik perjalanannya sulit dan berat jika dilakukan dengan berpuasa, maupun perjalanannya ringan dan tidak berat jika dilakukan dengan berpuasa.
b) Namun jika orang yang bersafar itu berniat bermukim di tempat tujuan safarnya lebih dari 4 hari, maka tidak boleh meninggalkan puasa sejak ia sampai di tempat tujuannya.
c) Para ulama khilaf mengenai musafir yang perjalanannya ringan dan tidak berat jika dilakukan dengan berpuasa, semisal menggunakan pesawat atau kendaraan yang sangat nyaman, apakah lebih utama berpuasa ataukah tidak berpuasa. Yang lebih kuat, dan ini adalah pendapat jumhur ulama, lebih utama tetap berpuasa.
d) Orang yang hampir selalu bersafar setiap hari, seperti pilot, supir bus, supir truk, masinis, dan semacamnya, dibolehkan untuk tidak berpuasa selama bersafar, selama itu memiliki tempat tinggal untuk pulang dan menetap.
Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al
Utsaimin.
3. Orang yang sudah tua renta
a) Orang yang sudah tua renta dan tidak lagi mampu untuk berpuasa dibolehkan untuk tidak berpuasa Ramadhan. Ulama ijma akan hal ini.
b) Wajib bagi mereka untuk membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.
4. Wanita hamil dan menyusui
a) Wanita hamil atau sedang menyusui boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik karena ia khawatir terhadap kesehatan dirinya maupun khawatir terhadap kesehatan si bayi.
b) Ulama berbeda pendapat mengenai apa kewajiban wanita hamil dan menyusui ketika meninggalkan puasa.
1. Sebagian ulama berpendapat bagi mereka cukup membayar fidyah tanpa qadha, ini dikuatkan oleh
Syaikh Al Albani.
2. Sebagian ulama berpendapat bagi mereka cukup meng-qadha tanpa fidyah, ini dikuatkan oleh Syaikh
Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Al Utsaimin, Syaikh Shalih Al Fauzan, Al Lajnah Ad Daimah, juga pendapat Hanafiyah dan Malikiyah.
3. Sebagian ulama seperti Syafi’iyyah dan juga Hanabilah berpendapat bagi mereka qadha dan fidyah jika meninggalkan puasa karena khawatir akan kesehatan si bayi.
4. Imam Malik merinci, jika khawatir pada anaknya maka qadha dan fidyah. Namun jika khawatir pada diri sang ibu, maka cukup meng-qadha puasa tanpa fidyah. Yang lebih rajih – insya Allah– adalah pendapat kedua, bagi mereka wajib qadha saja tanpa fidyah.
5. Orang yang memiliki sebab-sebab yang membolehkan tidak berpuasa, diantaranya:
a) Orang yang pekerjaannya terasa berat. Orang yang demikian tetap wajib meniatkan diri berpuasa dan wajib berpuasa. Namun ketika tengah hari bekerja lalu terasa sangat berat hingga dikhawatirkan dapat membahayakan dirinya, boleh membatalkan puasa ketika itu, dan wajib meng-qadha-nya di luar Ramadhan.
b) Orang yang sangat kelaparan dan kehausan sehingga bisa membuatnya binasa. Orang yang demikian wajib berbuka dan meng-qadha-nya di hari lain.
c) Orang yang dipaksa untuk berbuka atau dimasukan makanan dan minuman secara paksa ke mulutnya. Orang yang demikian boleh berbuka dan meng-qadha-nya di hari lain dan ia tidak berdosa karenanya.
Pembatal-pembatal puasa
1. Makan dan minum dengan sengaja
2. Keluar mani dengan sengaja
3. Muntah dengan sengaja
4. Keluarnya darah haid dan nifas
5. Menjadi gila atau pingsan
6. Riddah (murtad)
7. Berniat untuk berbuka
8. Merokok
9. Jima (bersenggama) di tengah hari puasa. Selain membatalkan puasa dan wajib meng-qadha puasa, juga diwajibkan menunaikan kafarah membebaskan seorang budak, jika tidak ada maka puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin.
10. Hijamah (bekam) diperselisihkan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Pendapat jumhur ulama, hijamah tidak membatalkan puasa. Sedangkan pendapat Hanabilah bekam
dapat membatalkan puasa. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh
Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz dan Ibnu Al Utsaimin.
11. Masalah donor darah merupakan turunan dari masalah bekam.
Maka donor darah tidak membatalkan puasa dengan mentakhrij pendapat jumhur ulama, dan bisa membatalkan puasa dengan men-takhrij pendapat Hanabilah.
12. Inhaler dan sejenisnya berupa aroma yang dimasukan melalui hidung, diperselisihkan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Pendapat jumhur ulama ia dapat membatalkan puasa, sedangkan sebagian ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengatakan tidak membatalkan. Pendapat kedua ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.
Yang bukan merupakan pembatal puasa
1. Mengakhirkan mandi hingga terbit fajar, bagi orang yang junub atau wanita yang sudah bersih dari haid dan nifas. Puasanya tetap sah.
2. Berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung)
3. Mandi di tengah hari puasa atau mendinginkan diri dengan air
4. Menyicipi makanan ketika ada kebutuhan, selama tidak masuk ke kerongkongan
5. Bercumbu dan mencium istri, bagi orang yang mampu mengendalikan birahinya
6. Memakai parfum dan wangi-wangian
7. Menggunakan siwak atau sikat gigi
8. Menggunakan celak
9. Menggunakan tetes mata
10. Menggunakan tetes telinga
11. Makan dan minum 5 menit sebelum terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh, yang biasanya disebut dengan waktu imsak. Karena batas awal rentang waktu puasa adalah ketika terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh.
Yang dimakruhkan ketika puasa
1. Terlalu dalam dan berlebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung)
2. Puasa wishal, yaitu menyambung puasa selama dua hari tanpa diselingi makan atau minum sama sekali.
3. Menyicipi makanan tanpa ada kebutuhan, walaupun tidak masuk ke kerongkongan
4. Bercumbu dan mencium istri, bagi orang yang tidak mampu mengendalikan birahinya
5. Bermalas-malasan dan terlalu banyak tidur tanpa ada kebutuhan
6. Berlebihan dan menghabiskan waktu dalam perkara mubah yang tidak bermanfaat
Beberapa kesalah-pahaman dalam ibadah
puasa
1. Niat puasa tidak perlu dilafalkan, karena niat adalah amalan hati. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga tidak pernah mengajarkan lafal niat puasa. Menetapkan itikad di dalam hati bahwa esok hari akan berpuasa, ini sudah niat yang sah.
2. Berpuasa namun tidak melaksanakan shalat fardhu adalah kesalahan fatal. Diantara juga perilaku sebagian orang yang makan sahur untuk berpuasa namun tidak bangun shalat shubuh. Karena dinukil bahwa para sahabat berijma tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, sehingga tidak ada faedahnya jika ia berpuasa jika statusnya kafir. Sebagian ulama berpendapat orang yang meninggalkan shalat tidak sampai kafir namun termasuk dosa besar, yang juga bisa membatalkan pahala puasa.
3. Berbohong tidak membatalkan puasa, namun bisa jadi membatalkan atau mengurangi pahala puasa karena berbohong adalah perbuatan maksiat.
4. Sebagian orang menahan diri melakukan perbuatan maksiat hingga datang waktu berbuka puasa. Padahal perbuatan maksiat tidak hanya terlarang dilakukan ketika berpuasa, bahkan terlarang juga setelah berbuka puasa dan juga terlarang dilakukan di luar bulan Ramadhan. Namun jika dilakukan ketika berpuasa selain berdosa juga dapat membatalkan pahala puasa walaupun tidak membatalkan
puasanya.
5. Mengenai “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437). Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696). Tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah. Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur
karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.
6. Tidak ada hadits “berbukalah dengan yang manis“. Pernyataan yang tersebar di tengah masyarakat dengan bunyi demikian, bukanlah hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
7. Tidak tepat mendahulukan berbuka dengan makanan manis ketika tidak ada kurma. Lebih salah lagi jika mendahulukan makanan manis padahal ada kurma. Yang sesuai sunnah Nabi adalah mendahulukan berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma maka dengan air minum. Adapun makanan manis sebagai tambahan saja, sehingga tetap didapatkan faidah makanan manis yaitu menguatkan fisik.
Oleh: Yulian Purnama, S.Kom.