Sejarah Puasa Ramadhan
Sejarah kewajiban puasa Ramadhan sejauh ini masih menjadi peristiwa yang belum banyak diketahui oleh umat Islam. Sebagai salah satu rukun Islam yang dikerjakan satu kali dalam setahun ini ternyata memiliki sejarah yang cukup panjang dan unik. Umur ibadah puasa sama tuanya dengan umur manusia karena merupakan salah satu dari tiga ibadah tua lainnya selain shalat dan qurban.
Mufassir berbeda pendapat mengenai maksud frasa “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” Sebagian ada yang menyatakan, penekanan tasybîh atau perumpamaan di sana adalah kewajiban puasanya. Sedangkan yang lain menekankan orang-orang yang berpuasanya. Kendati demikian,
kedua perbedaan ini tetap bermuara pada maksud orang-orang terdahulu beserta tata cara, waktu, dan lama puasa mereka. Tercatat awal pelaksanaan puasa pertama kali dilaksanakan oleh Nabi Adam as.
Dikisahkan dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa; “Nabi Adam, puasa selama tiga hari tiap bulan sepanjang tahun”. Riwayat lain mengatakan bahwa Nabi Adam berpuasa tiap tanggal 10 Muharram sebagai ungkapan rasa syukurnya lantaran Allah Swt, telah mengizinkannya bertemu atau berjumpa dengan istrinya, Siti Hawa di Jabal Rahmah Arafah.
Dijelaskan dalam hadis riwayat Ibnu Abbas ra, bahwa ketika Nabi Adam as, diturunkan ke muka bumi seluruh tubuhnya terbakar oleh matahari, sehingga tubuhnya menjadi hitam atau gosong. Kemudian Allah Swt, memberikan wahyu kepadanya untuk berpuasa selama tiga hari berturut-turut yaitu tanggal 13, 14, dan 15. Ketika berpuasa pada hari pertama, sepertiga badannya menjadi putih. Puasa hari kedua, sepertiganya lagi menjadi putih. Dan puasa hari ketiga, sepertiga sisa badannya menjadi putih.
Berikut terjemahan hadis tersebut:
“Sebab dinamai ‘ayyamul bidh’ adalah riwayat Ibnu Abbas ra, dinamai ayyamul bidh karena ketika Nabi Adam as diturunkan ke muka bumi, matahari membakarnya sehingga tubuhnya menjadi hitam. Allah Swt kemudian mewahyukan kepadanya untuk berpuasa pada ayyamul bidh (hari-hari putih); ‘Berpuasalah engkau pada hari-hari putih (ayyamulbidh)’. Lantas Nabi Adam as pun melakukan puasa pada hari pertama, maka sepertiga anggota tubuhnya menjadi putih. Ketika beliau melakukan puasa pada hari kedua, sepertiga anggota yang lain menjadi putih. Dan pada hari ketiga, sisa sepertiga anggota badannya yang lain menjadi putih.” Ada yang berpendapat bahwa puasa tersebut dinamai dengan istilah
ayyamul bidh karena malam-malam itu terang benderang disinari rembulan, dan rembulan selalu menyinari bumi sejak matahari terbenam sampai terbit kembali.
Dalam buku Sejarah Puasa (2021) karya Ustaz Ahmad Sarwat, Lc dijelaskan tentang persyariatan puasa umat-umat terdahulu, sebelum Islam datang. Menurutnya, puasa pertama kali, apalagi di Bulan Ramadan, terjadi pada masa Nabi Nuh as, ketika beliau keluar dari bahtera setelah banjir bandang yang menyapu sebagian besar bumi. Mujahid berkata bahwa telah tegas pertanyaan dari Allah Swt, bahwa setiap umat telah ditetapkan untuk berpuasa Ramadhan, dan sebelum masa Nabi Nuh sudah ada umat manusia.” Demikian juga menurut Imam al Qurthubi seperti yang dikutip dari buku Misteri Bulan Ramadan karya Yusuf Burhanudin, yang pertama kali berpuasa saat Ramadhan adalah Nabi Nuh as. Nabi Nuh melakukannya saat turun dari perahunya setelah badai menimpa negeri umatnya. Puasa saat zaman Nabi Nuh ini dilakukan sebagai tanda dan rasa syukur kepada Allah Swt, atas keselamatan dirinya dan kaumnya dari badai dan banjir yang begitu dahsyat. Nabi Musa as, puasa selama 40 hari 40 malam dalam persiapan menerima wahyu dari Allah di Bukit Sinai. Orang-orang Yahudi menjawab berpuasa karena Allah telah menyelamatkan Nabi Musa as dan kaumnya dari serangan Raja Fir’aun. Nabi Musa as lalu berpuasa pada hari 10 Muharram sebagai bentuk syukur kepada Allah karena selamat dari kejaran Fir’aun. Puasa ini kemudian dikenal dengan istilah Puasa Asyura.
Nabi Daud as dan umatnya, mereka diwajibkan melaksanakan ibadah puasa untuk seumur hidup, dengan setiap dua hari sekali berselang-seling yaitu sehari puasa besoknya tidak dan seterusnya. Kini, umat Islam mengenalnya dengan puasa Nabi Daud, yang dikerjakan sehari puasa dan sehari tidak. Praktik yang dilaksanakan Maryam adalah ibunda Nabi Isa Al Masih. Dalam persyariatanya, pada zaman sebelum Islam datang juga terdapat puasa. Hal ini sebagaimana ayat khusus dalam Al-Qur’an yang juga disebut dengan istilah Maryam, Ustaz Ahmad Sarwat juga mengisahkan, karena sedang berpuasa yang tidak membolehkan makan, minum dan juga berbicara ini yang membedakan dengan puasa yang dikenal umat muslim hari ini, maka itulah ketika ditanya tentang siapa ayah dari putera yang ada di gendongannya. Maryam saat itu tidak menjawab dengan perkataan, maka beliau hanya diam. Lalu Maryam hanya menunjuk kepada Nabi Isa, anaknya itu. Lantas, sejarah mencatat, lalu Nabi Isa yang masih bayi itu pun menjawab semua pertanyaan kaumnya. Itu dalam Islam dianggap sebagai mukjizat Nabi Isa, bisa berbicara sejak bayi atas seizing Allah Swt. Demikian juga halnya bahwa ibadah puasa telah dikenal oleh orang-orang zaman dahulu dari bangsa Mesir dan India. Juga dikenal oleh bangsa Yunani dan Romawi.
Jadi, sejarah puasa sangatlah tua; yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Ada yang mengatakan bahwa orang-orang paganis (penyembah patungpatung) dari bangsa India masih terus melestarikan puasa sampai sekarang ini. Hanya saja tentu bukan karena Allah, namun untuk menenangkan dan mencari keridhaan sesembahan-sesembahan mereka; bila mereka merasa bahwa mereka telah melakukan hal yang mengundang murka sesembahansesembahan mereka. Begitu pula kaum Yahudi dan Nasrani masih terus melestarikan puasa hingga saat ini. Selain itu, ada juga puasa yang dilakukan dalam Katolik dan Yahudi. Keduanya sudah melakukan puasa yang tentu saja berbeda dengan puasa yang
dilakukan umat Islam hari ini. Sementara itu, ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah semasa peristiwa hijrah, Nabi melihat orang-orang Yahudi juga biasa berpuasa setiap tanggal 10 Muharram. Dalam sejarah Islam, saat Nabi Muhammad saw berhijrah ke Madinah juga melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada 10 Muharram tersebut. Mereka berpuasa karena pada 10 Muharram Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari serangan Fir’aun. Nabi Musa bersyukur kepada Allah dengan cara melaksanakan puasa tersebut. Masyarakat Arab yang menganut agama Kristen sebelum datangnya Islam juga memiliki tradisi melaksanakan ibadah puasa. Tradisi puasa tersebut dilakukan selama 50 hari. Namun, caranya berbeda dengan pelaksanaan puasa Ramadhan atau puasa Asyura. Karena, dalam puasa umat Kristen tersebut diperbolehkan makan dan minum, kecuali daging, telur, dan susu. Ketika puasa pertama kali diwajibkan kepada umat Islam, maka tidak seperti
puasa kita pada saat ini. Menurut pendapat yang kuat, ada beberapa tahapantahapan model puasa sejak disyariatkannya hingga saat ini, di antaranya: Tahapan pertama, wajib puasa Asyura (10 Muharam). Dahulu, hukum puasa Asyura wajib, bahkan orang Yahudi juga berpuasa pada waktu itu. Dalam riwayat Ibnu Abbas ra, ketika Nabi Muhammad saw, memasuki kota Madinah al Munawarah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa. Maka ketika ditanyakan sebabnya, orang-orang Yahudi berkata, Artinya: “Ini adalah hari yang agung, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Firaun. Lalu Nabi Musa berpuasa sebagai wujud syukur kepada Allah.” Mendengar hal itu, maka Nabi Muhammad saw, mengatakan bahwa beliau dan umat Islam lebih utama mengikuti Nabi Musa as daripada orang-orang Yahudi. Maka, pada hari itu (hari Asyura) Nabi Muhammad saw berpuasa dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Tahapan kedua, puasa Ramadhan diwajibkan, setelah syariat wajibnya puasa Asyura, maka tahapan selanjutnya adalah diwajibkannya puasa Ramadhan. Hal
ini berdasarkan firman Allah swt,
Artinya: “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah [2]:185)
Namun, ketika itu berlaku aturan batas akhir makan dan menggauli istri adalah setelah shalat Isya atau sebelum tidur. Sehingga, apabila ada seseorang yang telah berbuka di awal malam, kemudian tertidur, lalu kemudian terbangun di tengah malam, maka ia sudah tidak boleh lagi makan hingga magrib
berikutnya. Praktik itu benar-benar menyulitkan umat Islam sehingga banyak yang melanggar larangan tersebut. Tentunya, puasa ketika itu menjadi amalan yang cukup berat, sampai-sampai suatu kejadian menimpa salah seorang sahabat, yaitu Qais bin Shirma ra. Qais bin Shirma al-Anshari bekerja di siang hari sementara dia sedang berpuasa. Ketika pulang, ia tidak mendapati makanan di rumahnya untuk berbuka. Istrinya pun berusaha keluar mencari makanan. Qais bin Shirma pun menunggu, namun karena kelelahan maka ia pun tertidur. Karena aturan ketika itu tidak boleh lagi makan apabila telah tidur, maka ia pun kembali berpuasa esok hari tanpa berbuka. Ketika kembali bekerja keesokan harinya, ia pun akhirnya pingsan. Ketika sampai kabar tersebut kepada Nabi Muhammad saw, maka turunlah firman Allah swt, Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. AlBaqarah [2]:187).
Riwayat lainnya mengatakan, turunnya ayat tersebut tidak terlepas dari kisah Umar bin Khattab ra, yang diriwayatkan dari Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim ra. Bahwa suatu malam di bulan Ramadhan Umar yang memang jarang tertidur malam hari, menggauli istrinya yang saat itu sudah tertidur. Hal ini kemudian disampaikan pada Rasulullah saw kemudian turunlah ayat tersebut di atas. Tahapan ketiga, berubahnya aturan puasa, setelah turunnya sebagian firman Allah swt, dalam surah Al-Baqarah ayat ke-187 tersebut, maka berubahlah aturan puasa. Aturan tersebut berbunyi bahwa batas akhir waktu berhubungan dengan pasangan, makan, minum di bulan Ramadhan adalah sebelum terbit fajar, dan itulah yang berlaku hingga saat ini dan seterusnya. Jadi dengan demikian bahwa pada awalnya, umat Islam diberikan pilihan antara mengerjakan puasa Ramadhan dan fidyah sebagai dendanya jika tidak melaksanakan puasa Ramadhan. Hal ini disebutkan oleh Al-Qur’an pada Surat Al-Baqarah ayat 183-184. (Sya’ban Muhammad Ismail, Tarikh Tasyri’ Al-Islami, Marahiluhu wa Mashadiruh, [Kairo, Darus Salam: 2015 M/1436 H]
Surat Al-Baqarah ayat 184 secara jelas memberikan pilihan kepada umat Islam yang mampu melakukan puasa untuk berpuasa atau membayar fidyah sekiranya ia memiliki beban atau kesulitan tambahan, yaitu memberikan makan kepada fakir miskin setiap harinya. Meski demikian, pilihan puasa tetap lebih
baik daripada fidyah. Prinsip pemberlakuan hukum secara bertahap merupakan manhaj Al-Qur’an. Tahapan ini yang juga dilakukan Al-Quran terhadap kewajiban puasa. Puasa merupakan ibadah yang sulit, terlebih bagi masyarakat di negeri tertentu seperti Hijaz; dan bagi masyarakat muslim-muslim awal yang umumnya faqir dan susah sehingga butuh mengerahkan kemampuan fisik untuk mendapatkan penghasilan harian. (Ismail, 2015 M: 60). Ketika masyarakat telah terbiasa dengan ibadah puasa, Al-Qur’an menghapus pilihan fidyah tersebut melalui Surat Al-Baqarah ayat 185. Al-Qur’an mewajibkan puasa Ramadhan bagi mereka yang sehat dan mampu setelah sebelumnya memberikan pilihan kepada mereka untuk berpuasa atau menggantinya dengan fidyah. (Ismail, 2015 M: 60).
Hikmah Puasa Ramhadan
1) Melatih disiplin waktu.
2) Keseimbangan dalam hidup.
3) Mempererat silaturahmi.
4) Lebih perduli pada sesama.
5) Tahu bahwa ibadah memiliki tujuan.
6) Tiap kegiatan mulia merupakan ibadah.
Dr. Al Fitri Johar, S.Ag., S.H., M.H.I.